Beberapa hari yang lalu aku telah menamatkan sebuah buku
dari penerbit yang tidak seperti biasannya, dari penulis yang tidak seperti
biasanya, dan dari pembelian yang tidak seperti biasanya pula.
Aku membeli
sebuah buku autobiografi dari percetakan Gram Studio, dari penulis Faldo
Maldini, dan jika biasanya membeli di online
book store atau datang ke toko buku kali ini dari pembelian langsung kepada
penulisnya via email. Lalu bagaimana bisa tahu informasi tentang buku ini?
Jawabannya cukup, aku tau dari twitter karena aku follower beliau. Tau dari mana Faldo Maldini? Aku lupa dari mana(mungin dari temen twitter),
yang aku tau beliau sudah muncul saja di timeline aku. Yang aku tau kala itu
adalah beliau ex-presma UI 2012 dan twit-twit nya yang berbobot. Next, ya aku excited
jika bicara sebuah buku, maka ketika akun @FaldoMaldini meng-twitt penjualan pre-order buku tersebut aku langsung
kepo lebih jauh. Aku temukan sebuah judul yang menawan,tentang sebuah kisah
anak muda yang terus belajar(belajar, di sini yang menarik perhatian. Ya semacam berharap mendapat motivasi). Aku tergugah oleh judulnya. Kepo lebih lanjut ternyata buku ini cara
penjualannya unik, kalo boleh aku bilang ‘penjualan mandiri’. Dicetak sendiri
dan dijual sendiri. Yang lebih unik lagi, pembeli dipersilakan menentukan harga
sendiri. Ya, dalam website sang penulis pada laman cara pemesanan buku di situ
tertera HPP buku, biaya ongkir, dan harga karya yang mau diberikan terserah pembeli
yang nantinya 10% dari keuntungan akan disumbangkan ke sebuah yayasan di UI.
Sempat ketinggalan pre-order karena
saat itu aku baru sibuk UTS, tetapi aku temukan twit sang penulis lagi tentang
buku tersebut maka teringatlah aku untuk membeli. Akhirnya langsung beli dengan
kirim email terlebih dahulu, menunggu konfirmasi penulis yang agak lama(aku
maklumi karena apa-apa diurus sendiri), dan akhirnya hari Senin tanggal 15 Juni
2015 datanglah buku tersebut ke indekost aku. Sehari setelah ulang tahun aku.
Sejauh pembicaraan ini apakah saudara pembaca sudah bosan?
Aku rasa memeng sudah. Oke, mari kita langsung masuk ke pembahasan buku ini.
Apa sih judulnya? Dari tadi diomongin apa sih judulnya? Sabar, judulnya yaitu
Karena Selama Hidup Kita Belajar. Buku bersampul putih bergambar sebuah pensil
yang sedang menggambarkan jalan di mana di jalan tersebut terdapat jejak-jejak
sepatu berwarna merah. Buku setebal 231 halaman yang di dalamnya bertabur quote-quote sang penulis. Buku yang di
dalamnya terdapat tandatangan dan ucapan ulang tahun kepadaku(setelah aku minta
kepada sang penulis untuk menulis ucapan ulang tahunku tentunya!).
Buku ini menceritakan perjalanan sang penulis dari SMA
sampai lulus kuliah. Erbagi ke dalam 20 bab, diawali dengan prolog dan diakhiri
dengan epilog. Diawal diceritakan tentang pribadi sang penulis yang mengalami
degradasi(SMP ke SMA), bisa aku tafsirkan begitu karena di masa SMA
kehidupannya kurang maksimal. Namun pada akhirnya sang penulis memilih untuk
bertaubat. Ah aku rasa kehidupan lelaki memang begitu. Kadang seorang lelaki
memang harus nakal terlebih dahulu sebelum dia bertaubat dan menjadi dewasa dan
keren. Kemudian cerita berlanjut tentang kehidupan setelah SMA. Kuliah
pilihannya, tetapi kuliah ke mana itu yang menjadi bimbang. Orangtua
menganjurkan UI tetapi hati sejujurnya memilih ITB. Pada bagian ini sangat
terlihat bagaimana rasa sayangnya sang penulis terhadap orangtuanya, apalagi
ibunya. Juga terlihat kedewasaan sang penulis dalam menyikapi sebuah pilihan
kala itu. Pada bagian ini yang menjadikan aku terharu, sebagai seorang rantau juga seorang
yang jauh dari rumah demi tuntutan pendidikan yang telah jadi pilihan, tentang
berpamitan dan restu. Ah, jadi kangen rumah. Kembali ke buku, ya pada akhirnya
sang penulis mengikuti kata orangtua walau di hati masih tersimpan kampus
impian sampai satu tahun kemudian. Kemudian diceritakan kehidupan sang penulis
ketika awal kuliah. Bagaimana ditahun pertama di semester dua sudah mengikuti
lomba roket nasional. Kemudian tingkat dua menjadi kepala HMD, tingkat tiga
menjadi Ketua BEM FMIPA, tingkat tiga akhir menjadi Ketua BEM UI. Bagaimana karir
sepak terjang organisasi seorang Faldo Maldini terus berkembang. Di sinilah hal
yang mengagumkan. Bukan hanya tentang pencapaian dan bertahan tetapi tentang
pencapaian, bertahan, dan terus berkembang. Jarang anak muda yang seperti ini,
apalagi aku. Kebanyakan anak muda saat ini lebih berkecimpung dalam hal ‘media sosial’,
‘study oriented’, ‘mager’, ‘zona
nyaman’, dan lain-lain. Anak muda saat ini membutuhkan pelajaran kedewasaan
demi menanggulangi kebiasaan latah. Karakter building dan penanaman prinsip.
Karena kata seseorang, anak muda jaman dahulu berani berteriak ‘merdeka’,
tetapi anak muda jaman sekarang beraninya teriak ‘folback dong kakak’. Anak
muda jaman sekarang bukan memerangi penjajah yang kasat mata tetapi penjajah
dalam dirinya sendiri dan penjajah yang tidak kasat mata.
Buku ini juga menceritakan kisah sang penulis tentang
pergerakan, demonstrasi, dan rakyat. “Mahasiswa
adalah bagian dari rakyat. Dan mahasiswa akan selalu bersama rakyat”. Sisi inilah
yang tidak ada di kampus ku. Buat di universitas-universitas memang sudah biasa
terjadi sebuah pergerakan. Dan memang itulah tugas mahasiswa, salah satunya.
Selain menjadi manusia juga harus bisa memanusiakan orang lain. Tapi terlebih
dahulu haruslah menjadi manusia, menjadi seorang intelektual adalah tugas
seorang pelajar. Bukan intelektual dengan pikiran cetek, tapi intelektual
sesungguhnya. Di sinilah bagian susahnya. Beberapa pergerakan yang dilakukan
sang penulis antara lain Pergerakan #SaveGaza,
#SaveKPk, penggusuran kios di Stasiun Pondok Cina dan Stasiun UI( Oot, setelah aku beberapa kali ke pocin
dan st.UI baru sadar ternyata barusan
terjadi penggusuran, yaitu 2013. Ya ada yang ganjal waktu ke sana, sesuatu
yang baru saja dibersihkan. Tidak membayangkan kala itu saat terjadi
penggusuran).
Buku ini mengingatkan aku kepada ‘Anak-Anak Revolusi’ karya
Budiman Sutjatmiko. Anak-Anak Revolusi menceritakan autobiografi Bang Budiman
juga. Dua orang yang sama-sama dalam ranah pergerakan dan organisasi, Bang
Faldo dan Bang Bud. Yang membedakan keduannya adalah jaman dan peristiwa. 1998
tentang pelengseran Soeharto dan 2012
tentang BBM. Sama-sama keras tapi sampai saat ini belum ada yang bisa menandingi
pergerakan anak muda menaklukan tahun 1998. Pada intinya sama-sama anak muda,
organisasi, dan pergerakan.
Hal menarik dari gaya penulisan Karena Selama Hidup Kita
Belajar yaitu tidak terlalu kaku, sederhana dan jujur. Tidak terlalu bermain
kata-kata seperti kebanyakan buku lainnya. Secara jalan cerita lumayan klimaks.
Secara keseluruhan menarik tapi bobotnya belum terlalu padat. Jalan cerita
terlalu singkat jika hanya dari SMA sampai lulus kuliah. Sisi masa kecil dan keluarga
juga masih sedikit. Untuk referensi buku dan materi masih sedikit. Tapi pada
intinya buku ini to the point.
Belajar…belajar…belajar! Untuk bab
terfavorit aku lebih memilih bab Senyum Orangtua, Titik Balik, dan Sipil. Untuk
quote terbaik,
“Jika dalam pergulatan ini kita memiliki kekuatan diri yang sangat oke
dan juga memiliki teman seperjuangan bergulat yang tidak kalah oke, kita tidak
akan pernah ragu untuk mengucapkan kalimat, ‘Jadi, kekerenan apa yang akan kita buat hari ini?’.”
“Niat yang lurus itu bagai dua garis sejajar yang jika diperpanjang
tidak akan terpengaruh untuk saling bertemu.”
Beberapa kalimat yang layak dijadikan quote;
Setiap orang pasti memiliki hal yang tidak sama. Tergantung asosiasi
pikiranny dan tergantng apa yang sering dibaca”
“Mahasiswa juga harus lebih kritis dan peduli. Terlepas mahasiswa
memiliki ideologi apapun, yang namanya kesalahan akan selalu mutlak untuk dilawan”
“Masalah organisasi mahasiswa hari ini
harusnya jauh lebih besar. Yaitu maslah minimnya ide dan kreatifivitas”
"Ðan ternyata memang benar, banyak keajaiban yang akan terjadi
setelahnya. Keajaiban yang hadir saat kita mampu bertahan menghadapi cobaan.”
“Batasan solusi dari masalah itu adalah sejauh jarak kening dengan
tempat sujud kita. Semakin sering kita bersujud, semakin mudah kita mendapatkan
solusi”
“Jangan salah juga, hidup biasa-biasa saja pun juga ujian. Hidup yang
tidak berbahaya bisa jadi juga sebentuk
ujian.
So, belajar dari buku ini banyak yang harus dibenahi. Mulai
dari passion pun, prinsip, komunikasi baik secara vertikal maupun horizontal,
semangat, dan semuanya. Alangkah baik jika setiap orang terus berkembang karena bertahan saja tidak cukup. Jangan tanyakan apa yang lingkunganmu berikan, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada lingkunganmu. Ingat pula, badai hanya menyisakan pohon terkuat. Dengan membaca buku, kita telah membuka pintu ke mana saja. oke, cukup ngomong sama diri sendiri(kata-kata barusan tertuju pada diriku sendiri). Selamat tidur di rak “Karena Selama Hidup Kita Belajar”
atau berkelana dari tangan ke tangan hingga kau menginspirasi anak manusia
lainnya.
PS: Maaf jika ada kesalahan, mohon dikoreksi.
Next, Novel Hujan Bulan Juni.
Next, Novel Hujan Bulan Juni.
Sekian.
Salam.
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
Nice Diwww😍😍 aku tunggu hujan di bulan juni nya yahhh💪💪
ReplyDeleteThanks nin *lope lope*
DeleteHujan Bulan Juni next ya, sastra banget bahasanya.
Wahhh bang faldo maldini ya
ReplyDeleteBeliau pernah mampir ke kampus aku juga buat sharing sama temen2nya di sini
(Sama jurusan)
Tau bukunya sih, tapi belum sempat beli dan baca
bagus banget sepertinya ya, soalnya banyak banget orang yang bahas
USU bukan? kwkw
DeleteBagus enggaknya itu relatif sih. Tapi recommended kok. Baca dong Aul.